Benar atau tidaknya kisah ini, tidak begitu penting. Cerita dari mulut ke mulut menghasilkan ” KABA”. Dalam dialektika Minangkaba, maka si Tukang Kaba, akan mengisahkan sesuatu apa yang ia ketahui – ia dengar dan kemudian ia pahami. Kemduian Kisah di nukilkan dalam bahasa serta kiasan yang tinggi.
Bertitik tolah dari perangkat hukum adat, yang menempatkan kaum wanita dimuliakan secara adat, maka Bundokanduang selalu menjadi tokoh dalam suatu peristiwa. Bundokanduang menjadi figur dan di identifikasi sebagai pilar dan tiang utama dalam sistem sosial kemasayarakatan.
Dari berbagai versi tentang bundokanduang, baik dari Pagaruyung maupun dari Lunang, dapat kita simpulkan bahwa Bundokanduang itu ada disetiap ka Nagarian atau wilayah Minangkabau. Jika ada seorang wanita yang memiliki keunggulan – kharismatik – dimuliakan secara adat dalam satu kekerabatan atau didalam suatu trah tertentu, maka Bundokanduang itu tetap akan hidup sebagai simbol dan orang yang berpengaruh sebagai kharisma wanita minangkabau.
Bundokanduang :
Pada serangkaian cerita Cinduamato, tersebutlah nama Bundo Kandung sebagai ibu dari Dang Tuangku. Akan halnya Bundo Kanduang yang seiring disebut ujud seorang perempuan dalam kerajaan Minangkabau. Barangkali ini merupakan sebuah ungkapan terhormat kepada seorang wanita.
Seperti tersebut dalam kisah Cindurmato, suatu kali cucu Raja Mauliwarman Dewa, datang ke Luhak nan Tuo, Tanah Datar. Mereka adalah tiga kakak beradik, yang tua Kambang Daro Marani (14 tahun), Indo dewa ( 12 tahun) dan yang bungsu Kambang Daro Bandari (10 tahun). Kunjungan mereka ini, disertai para dubalang dan inang pengasuh yang seluruhnya berjumlah 45 orang. Salah seorang yang terkenal dalam rombangan ini adalah Andiko Panjang Gombak (45 tahun), yang bertugas sebagai kepala rombongan dan sekaligus pengawal setia tiga kakak beradik tadi.
Melihat indahnya alam, bersahabatnya masyarakat, maka timbullah hasrat dari tiga kakak beradik ini, untuk menetap di ranah bundo. Keinginan itu disampaikan oleh Andiko Panjang Gombak di dalam pertemuan Limbago Alam di Balai Adat Datuak Bandaro Sungai Tarab. Pertemuan ini membawa arti penting terhadap gerak langkah perjalanan sejarah Minangkabau selanjutnya.
Musyawarah Limbago Alam yang dihadiri, oleh seluruh anggota perwakilannya di Sungai Tarab ini membuahkan tiga butir mufakat, yaitu:
Petama. Basa Tigo Balai dikembangkan menjadi Basa Ampek Balai terdiri dari, Datuak Bandaro dari Sungai Tarab sebagai Payung Panji Koto Piliang, Datuak Indomo dari Saru Aso sebagai Amban Purut Koto Piliang , Tuan Gadang dari Bhakti Sapuluah sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dan Datuak Makhudum dari Sumaniak sebagai Pasak Kunci Koto Piliang.
Kedua. Limbago Alam menunjuk Andiko Panjang Gombak sebagai ketua kehormatannya.
Ketiga. Kambang Daro Marani, Indodewa dan Kambang Daro Bandari, sebagai anak kemanakan Limbago Alam, akan dibangunkan sebuah rumah gadang di Gudam Kambang Bungo (Pagaruyung).
Hasil mufakat Limbago Alam ini, disampaikan pula kepada Majilih Kerapatan Adat Alam Minangkabau pada pertemuannya di Medan Taduah Bukit Gombak. Semua anggota perwakilan Majilih menyetujui dan merestui keputusan Limbago Alam tersebut.
Setehun setelah tiga kakak beradik itu tinggal di Luak nan Tuo, rumah gadang atau istano yang dibangun di ranah Kambang Bungo, telah berdiri dengan megahnya. Seluruh bahan bangunannya, adalah sumbangan masyarakat Luhak nan Tigo. Di halamannya berderet pula tiga rangkiang dengan anggun. Perlengkapan rumah gadang seperti lapik baludu, kelambu suto, cawan dan pinggan, cibuk dan bermacam perhiasan mas dan intan dihadiahkan oleh dangsanak belahan diri yang bermukim di pesisir dan rantau.
Tujuh tahun kemudian, Andiko Panjang Gombak mendapat kecaman dari bebagai lapisan masyarakat Minangkabau. Saat itu Kambang Daro Marani yang sedang menginjak umur 21 tahun, dinikahi oleh Andiko Panajang Gombak secara diam-diam tanpa diumumkan secara adat kepada kalayak ramai. Sewaktu Kambang Daro Marani hamil tiga bulan, masyarakat melalui limbago-limbago adatnya menuduh Andiko melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang melanggar adat.
Andiko membela diri. Dia mengatakan pernikahannya dilakukan di Bhakti Sapuluah, di istano Tuan Gadang secara resmi. Limbago adat tetap pada pendirian mereka: Andiko dianggap bersalah karena melakukan pernikahan tidak bersuluh matahari dan bergelanggang mata orang banyak, sebagaimana ditetapkan oleh adat. Sebelum hukuman dijatuhkan, Andiko menebus kesalahanya di lapangan Bukit Gombak dengan memotong sepuluh ekor kerbau untuk menjamu perwakilan Limbago Adat dan seluruh anak nagari yang berkenan hadir.
Pada saat itu secara tulus Andiko mengakui, bahwa dia telah berbuat sumbang karena melanggar aturan adat. Selanjutnya bersamaan dengan penyesalan Andiko, masyarakat Minangkabau pun memberikan maaf dengan tulus pula. Hasil pernikahan ini kemudian melahirkan Romandung yang bergelar Dang Tuanku.
Akan tetapi, empat belas bulan kemudian, Andiko Panjang Gombak kembali melakukan kesalahan yang sama. Dia secara diam-diam juga menikahi Kambang Daro Bandari, adik kandung Kambang Daro Marani. Limabago Adat dan rakyat kembali marah besar kepada Andiko. Panjang Gombak dinilai tidak lagi bertingkah laku sesuai alur dan patut. Pada masa itu, di Minangkabau sekalipun belum diliputi agama Islam, masyarakat sangat menentang jika seorang laki-laki mengawini dua perempuan kakak beradik yang masih sama-sama hidup. Masyarakat tidak lagi melihat Andiko Panjang Gombak sebagai seorang yang berpijak di bumi Ranah Minang, karena itu dia harus dibuang sepanjang adat.
Andiko kembali membela diri. Dia menjelaskan, bahwa perbuatannya tersebut disokong oleh Kambang Daro Marani demi melanjutkan keturunan di istano Pagaruyung. Dan Andiko juga meyakinkan bahwa apa yang dia lakukan sudah seizin tetua adat di Darmasraya.
Akhirnya, Andiko kembali mengsisi adat. Kali ini di istano Pagaruyung jamuan makan seperti dulu dilangsungkan. Limbago Adat pun kembali memaafkan Andiko dengan perinsip: Salah kepda manusia minta maaf, salah kepada adat mengisinya. Akan tetapi, sehari setelah upacara adat itu selesai Indodewa, yang satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara, meninggalkan Pagaruyung menuju Darmasraya dan bersumpah tidak akan pernah kembali lagi. Namun, sebagaimana diceritakan, dari pernikahan inilah lahirnya Cidurmoto.
Setelah sama-sama melahirkan anak dari Andiko Panjang Gombak, Kambang Daro Marani berubah nama jadi Bundo Kanduang dan Kambang Daro Bandari jadi Bundo Kambang.
Lebih kurang 23 tahun kemudian, perang pun berkecamuk antara pasukan Imbang Jayo dari Sungai Ngiyang –sebuah kerajaan kecil di Selatan Minangkabau, dengan tentara Pagaruyung. Pertikaian yang tak kunjung berkesudahan ini, dipicu oleh api cemburu yang selalu membakar hati Imbang Jayo yang gagal mempersunting Puti Bungsu, tersebab gadis itu dilarikan oleh Cindurmato anak Raja Pagaruyung.
Ayah dari Imbang Jayo yang bernama Raja Tiang Bungkuk dari Kerajaan Sungai Ngiyang, juga mendukung dendam si anak. Pagaruyung pun akhirnya menuai badai.
Sesaat perang kelihatan seperti reda. Tibalah masanya, empat anggota Basa Ampek Balai, berlima dengan Tuan Gadang di Batipuah, duduk bersila di bagian tengah ruangan balairung, istano Pagaruyunag. Bundo Kanduang dan Bundo Kambang telah duduk pula bersimpuh dilantai anjung ujung utara. Di kiri kanan mereka duduk bersila Romandung dan Cindurmato. Cindurmato baru saja kembali dari Inderapura dua hari sebelumnya. Bersama Cindurmato ikut empat lusin pemuda Inderapura.
Dalam pertemuan itu, sembah kata belum kunjung bersilang. Mereka masih diam sambil menikmati sekapur sirih yang terkunyak dimulut masing-masing. Adanya pancaran haru dan kentaranya silang-siur kerut-merut di wajah Bundokanduang, membuat hati anggota Basa Ampek Balai ikut terenyuh. Tambah lagi sikap Bundo Kambang, Romandung dan Cindurmato yang muram, tidak seperti biasa, telah membuat suasana balairung itu bertambah suram.
Saat itu kepada Basa Ampek Balai, Bundo Kanduang mengatakan, bahwa dia akan pergi jauh dari Pagaruyung. Bila kelak rakyat Minangkabau mempertanyakan kemana mereka pergi, maka katakanlah, bahwa mereka suduah mengirap ke langit.
Mande Rubiah
Tersebut dalam satu versi sejarah, bahwa melihat gelagat Adityawarman yang ingin memerintah secara otoriter di Minangkabau, maka keluarga Raja Pagaryung memprotesnya secara keras.
Bentuk protes ini, adalah dengan mengirab (pindah total) dari daerah asal menuju sebuah persembunyian. Dalam versi sejarah ini, masyarakat Nagari Lunang, Pesisir Selatan, mengatakan, bahwa keluarga raja yang mengirab itu, adalah keluarga Mande Rubiah yang kini mempunyai istana khusus di daerah itu.
Pembenaran ke arah ini, diperkuat dengan beberapa bentuk peninggalan bersejarah. Seperti adanya benda-benda kerajaan yang tersimpan rapi di rumah Mande Rubiah hingga kini. Selain benda pusaka dari piring cawan hingga senjata perang itu, juga terdapat di sekitar rumah Mande Rubiah, perkuburan tua. Pada perkuburan itu konon, dimakamkan Bundo Kanduang dan anaknya Dang Tuangku beserta istrinya Puti Bungsu. Selain itu disekitar rumah Mande Rubiah juga terdapat, kuburan Cindua Mato, yang dikenal dalam legenda Minang sebagai seorang parewa yang ahli siasat perang.
Mungkin nama Dang Tuangku dan Cindua Mato serta Puti Bungsu tidak pernah ada dalam silsilah keturunan Raja Pagaruyung, seperti diakui oleh salah seorang pewaris Kerajaan Pagaruyung, Putri Reno Raudha Taib. Akan tetapi pembenaran yang dipakai versi ini, niat semula dari serumpun keluarga ini untuk mengirab, yaitu untuk menghilangkan sekalian jejak, supaya kemana mereka pergi tidak diketahui oleh Adityawarman orang yang tidak mereka sukai.
Dilihat dari kubur Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan Puti Bungsu yang ada di nagari Lunang, itu semuanya seperti kuburan orang Islam, membujur ke utara dan selatan menandakan menghadap kiblat.
Keadaan ini juga bisa dihubungkan dengan kebencian sekelompok keluarga kerajaan ini kepada Adityawarman karena mereka tidak seagama. Sebab dalam sejarah dikatakan, adityawarman adalah penganut Budha Mahayana, orang yang suka dengan kekerasan.
Perhitungan Tahun
Akan tetapi dalam sejarah dan Tambo Adat Minangkabau, disebutkan. Adityawarman berada di Pagaruyung sekitar 1339-1376. Anaknya, Ananggawarman yang masih beragama Budha memerintah (1376). Setelah itu barulah Sultan Bakilap Alam menjadi Raja Pagaruyung, sampai pada Sutan Usman, 1943 selaku (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung).
Jika dilihat pula keterangan yang disampaikan oleh Barkat, seorang keluarga Mande Rubiah, hingga kini keberadaan Mande Rubiah di Lunang, baru keturunan ke tujuh. Jika keturunan keluarga ini berumu masing-masing 50 tahun, maka perhitungannya baru sampai pada tahun 1600-an. Dalam hal ini jelas ada perhitungan sejarah yang tercecer.
“Untuk menghimpun sejarah Minangkabau yang penuh dengan makna, ini jelas tugas bersama untuk mempertautkannya. Sebab, sejarah suatu bangsa bukanlah terletak pada pundak satu angkatan saja, tetapi terletak di setiap pundak angkatan yang datang silih berganti dan bertukar tiap sebentar. Tugas kita semualah untuk mencarinya,” kata Abdul Hamid, salah seorang pemuka adat dari Nagari Pariangan selaku nagari tertua di Minangkabau.
Akan halnya Mande Rubiah, kalaulah bukan karena dibuka jalan lintas Sumbar Bengkulu dan transmigrasi di Lunang, maka tabir sejarah Rumah Gadang Mande Rubiah tidak akan ditemukan. Salah satu bukti sejarah yang ada hubungannya dengan Pagaruyung itu baru diketahui masyarakat secara luas, baru pada tahun 1960-an. Sebelumnya, boleh dikatakan hanya masyarakat Nagari Lunang dan sekitarnya saja yang tahu kalau yang menghuni rumah gadang itu adalah keturunan Bundo Kanduang..
Siapa Bundo Kanduang kenapa dia sampai ke Lunang? Inilah sebuah pertanyaan yang hingga sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan sebagai acuan bagi generasi berikutnya.
Jika memang Bundo Kanduang itu identik dengan Mande Rubiah yang ada di Lunang ini kita harus membuktikan apa yang diwarisinya sekarang, apakah berasal dari Pagaruyung atau ada kesamaan dengan Pagaruyung. Semua itu masih perlu pembuktian.
Bertitik tolah dari perangkat hukum adat, yang menempatkan kaum wanita dimuliakan secara adat, maka Bundokanduang selalu menjadi tokoh dalam suatu peristiwa. Bundokanduang menjadi figur dan di identifikasi sebagai pilar dan tiang utama dalam sistem sosial kemasayarakatan.
Dari berbagai versi tentang bundokanduang, baik dari Pagaruyung maupun dari Lunang, dapat kita simpulkan bahwa Bundokanduang itu ada disetiap ka Nagarian atau wilayah Minangkabau. Jika ada seorang wanita yang memiliki keunggulan – kharismatik – dimuliakan secara adat dalam satu kekerabatan atau didalam suatu trah tertentu, maka Bundokanduang itu tetap akan hidup sebagai simbol dan orang yang berpengaruh sebagai kharisma wanita minangkabau.
Bundokanduang :
Pada serangkaian cerita Cinduamato, tersebutlah nama Bundo Kandung sebagai ibu dari Dang Tuangku. Akan halnya Bundo Kanduang yang seiring disebut ujud seorang perempuan dalam kerajaan Minangkabau. Barangkali ini merupakan sebuah ungkapan terhormat kepada seorang wanita.
Seperti tersebut dalam kisah Cindurmato, suatu kali cucu Raja Mauliwarman Dewa, datang ke Luhak nan Tuo, Tanah Datar. Mereka adalah tiga kakak beradik, yang tua Kambang Daro Marani (14 tahun), Indo dewa ( 12 tahun) dan yang bungsu Kambang Daro Bandari (10 tahun). Kunjungan mereka ini, disertai para dubalang dan inang pengasuh yang seluruhnya berjumlah 45 orang. Salah seorang yang terkenal dalam rombangan ini adalah Andiko Panjang Gombak (45 tahun), yang bertugas sebagai kepala rombongan dan sekaligus pengawal setia tiga kakak beradik tadi.
Melihat indahnya alam, bersahabatnya masyarakat, maka timbullah hasrat dari tiga kakak beradik ini, untuk menetap di ranah bundo. Keinginan itu disampaikan oleh Andiko Panjang Gombak di dalam pertemuan Limbago Alam di Balai Adat Datuak Bandaro Sungai Tarab. Pertemuan ini membawa arti penting terhadap gerak langkah perjalanan sejarah Minangkabau selanjutnya.
Musyawarah Limbago Alam yang dihadiri, oleh seluruh anggota perwakilannya di Sungai Tarab ini membuahkan tiga butir mufakat, yaitu:
Petama. Basa Tigo Balai dikembangkan menjadi Basa Ampek Balai terdiri dari, Datuak Bandaro dari Sungai Tarab sebagai Payung Panji Koto Piliang, Datuak Indomo dari Saru Aso sebagai Amban Purut Koto Piliang , Tuan Gadang dari Bhakti Sapuluah sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dan Datuak Makhudum dari Sumaniak sebagai Pasak Kunci Koto Piliang.
Kedua. Limbago Alam menunjuk Andiko Panjang Gombak sebagai ketua kehormatannya.
Ketiga. Kambang Daro Marani, Indodewa dan Kambang Daro Bandari, sebagai anak kemanakan Limbago Alam, akan dibangunkan sebuah rumah gadang di Gudam Kambang Bungo (Pagaruyung).
Hasil mufakat Limbago Alam ini, disampaikan pula kepada Majilih Kerapatan Adat Alam Minangkabau pada pertemuannya di Medan Taduah Bukit Gombak. Semua anggota perwakilan Majilih menyetujui dan merestui keputusan Limbago Alam tersebut.
Setehun setelah tiga kakak beradik itu tinggal di Luak nan Tuo, rumah gadang atau istano yang dibangun di ranah Kambang Bungo, telah berdiri dengan megahnya. Seluruh bahan bangunannya, adalah sumbangan masyarakat Luhak nan Tigo. Di halamannya berderet pula tiga rangkiang dengan anggun. Perlengkapan rumah gadang seperti lapik baludu, kelambu suto, cawan dan pinggan, cibuk dan bermacam perhiasan mas dan intan dihadiahkan oleh dangsanak belahan diri yang bermukim di pesisir dan rantau.
Tujuh tahun kemudian, Andiko Panjang Gombak mendapat kecaman dari bebagai lapisan masyarakat Minangkabau. Saat itu Kambang Daro Marani yang sedang menginjak umur 21 tahun, dinikahi oleh Andiko Panajang Gombak secara diam-diam tanpa diumumkan secara adat kepada kalayak ramai. Sewaktu Kambang Daro Marani hamil tiga bulan, masyarakat melalui limbago-limbago adatnya menuduh Andiko melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang melanggar adat.
Andiko membela diri. Dia mengatakan pernikahannya dilakukan di Bhakti Sapuluah, di istano Tuan Gadang secara resmi. Limbago adat tetap pada pendirian mereka: Andiko dianggap bersalah karena melakukan pernikahan tidak bersuluh matahari dan bergelanggang mata orang banyak, sebagaimana ditetapkan oleh adat. Sebelum hukuman dijatuhkan, Andiko menebus kesalahanya di lapangan Bukit Gombak dengan memotong sepuluh ekor kerbau untuk menjamu perwakilan Limbago Adat dan seluruh anak nagari yang berkenan hadir.
Pada saat itu secara tulus Andiko mengakui, bahwa dia telah berbuat sumbang karena melanggar aturan adat. Selanjutnya bersamaan dengan penyesalan Andiko, masyarakat Minangkabau pun memberikan maaf dengan tulus pula. Hasil pernikahan ini kemudian melahirkan Romandung yang bergelar Dang Tuanku.
Akan tetapi, empat belas bulan kemudian, Andiko Panjang Gombak kembali melakukan kesalahan yang sama. Dia secara diam-diam juga menikahi Kambang Daro Bandari, adik kandung Kambang Daro Marani. Limabago Adat dan rakyat kembali marah besar kepada Andiko. Panjang Gombak dinilai tidak lagi bertingkah laku sesuai alur dan patut. Pada masa itu, di Minangkabau sekalipun belum diliputi agama Islam, masyarakat sangat menentang jika seorang laki-laki mengawini dua perempuan kakak beradik yang masih sama-sama hidup. Masyarakat tidak lagi melihat Andiko Panjang Gombak sebagai seorang yang berpijak di bumi Ranah Minang, karena itu dia harus dibuang sepanjang adat.
Andiko kembali membela diri. Dia menjelaskan, bahwa perbuatannya tersebut disokong oleh Kambang Daro Marani demi melanjutkan keturunan di istano Pagaruyung. Dan Andiko juga meyakinkan bahwa apa yang dia lakukan sudah seizin tetua adat di Darmasraya.
Akhirnya, Andiko kembali mengsisi adat. Kali ini di istano Pagaruyung jamuan makan seperti dulu dilangsungkan. Limbago Adat pun kembali memaafkan Andiko dengan perinsip: Salah kepda manusia minta maaf, salah kepada adat mengisinya. Akan tetapi, sehari setelah upacara adat itu selesai Indodewa, yang satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara, meninggalkan Pagaruyung menuju Darmasraya dan bersumpah tidak akan pernah kembali lagi. Namun, sebagaimana diceritakan, dari pernikahan inilah lahirnya Cidurmoto.
Setelah sama-sama melahirkan anak dari Andiko Panjang Gombak, Kambang Daro Marani berubah nama jadi Bundo Kanduang dan Kambang Daro Bandari jadi Bundo Kambang.
Lebih kurang 23 tahun kemudian, perang pun berkecamuk antara pasukan Imbang Jayo dari Sungai Ngiyang –sebuah kerajaan kecil di Selatan Minangkabau, dengan tentara Pagaruyung. Pertikaian yang tak kunjung berkesudahan ini, dipicu oleh api cemburu yang selalu membakar hati Imbang Jayo yang gagal mempersunting Puti Bungsu, tersebab gadis itu dilarikan oleh Cindurmato anak Raja Pagaruyung.
Ayah dari Imbang Jayo yang bernama Raja Tiang Bungkuk dari Kerajaan Sungai Ngiyang, juga mendukung dendam si anak. Pagaruyung pun akhirnya menuai badai.
Sesaat perang kelihatan seperti reda. Tibalah masanya, empat anggota Basa Ampek Balai, berlima dengan Tuan Gadang di Batipuah, duduk bersila di bagian tengah ruangan balairung, istano Pagaruyunag. Bundo Kanduang dan Bundo Kambang telah duduk pula bersimpuh dilantai anjung ujung utara. Di kiri kanan mereka duduk bersila Romandung dan Cindurmato. Cindurmato baru saja kembali dari Inderapura dua hari sebelumnya. Bersama Cindurmato ikut empat lusin pemuda Inderapura.
Dalam pertemuan itu, sembah kata belum kunjung bersilang. Mereka masih diam sambil menikmati sekapur sirih yang terkunyak dimulut masing-masing. Adanya pancaran haru dan kentaranya silang-siur kerut-merut di wajah Bundokanduang, membuat hati anggota Basa Ampek Balai ikut terenyuh. Tambah lagi sikap Bundo Kambang, Romandung dan Cindurmato yang muram, tidak seperti biasa, telah membuat suasana balairung itu bertambah suram.
Saat itu kepada Basa Ampek Balai, Bundo Kanduang mengatakan, bahwa dia akan pergi jauh dari Pagaruyung. Bila kelak rakyat Minangkabau mempertanyakan kemana mereka pergi, maka katakanlah, bahwa mereka suduah mengirap ke langit.
Mande Rubiah
Tersebut dalam satu versi sejarah, bahwa melihat gelagat Adityawarman yang ingin memerintah secara otoriter di Minangkabau, maka keluarga Raja Pagaryung memprotesnya secara keras.
Bentuk protes ini, adalah dengan mengirab (pindah total) dari daerah asal menuju sebuah persembunyian. Dalam versi sejarah ini, masyarakat Nagari Lunang, Pesisir Selatan, mengatakan, bahwa keluarga raja yang mengirab itu, adalah keluarga Mande Rubiah yang kini mempunyai istana khusus di daerah itu.
Pembenaran ke arah ini, diperkuat dengan beberapa bentuk peninggalan bersejarah. Seperti adanya benda-benda kerajaan yang tersimpan rapi di rumah Mande Rubiah hingga kini. Selain benda pusaka dari piring cawan hingga senjata perang itu, juga terdapat di sekitar rumah Mande Rubiah, perkuburan tua. Pada perkuburan itu konon, dimakamkan Bundo Kanduang dan anaknya Dang Tuangku beserta istrinya Puti Bungsu. Selain itu disekitar rumah Mande Rubiah juga terdapat, kuburan Cindua Mato, yang dikenal dalam legenda Minang sebagai seorang parewa yang ahli siasat perang.
Mungkin nama Dang Tuangku dan Cindua Mato serta Puti Bungsu tidak pernah ada dalam silsilah keturunan Raja Pagaruyung, seperti diakui oleh salah seorang pewaris Kerajaan Pagaruyung, Putri Reno Raudha Taib. Akan tetapi pembenaran yang dipakai versi ini, niat semula dari serumpun keluarga ini untuk mengirab, yaitu untuk menghilangkan sekalian jejak, supaya kemana mereka pergi tidak diketahui oleh Adityawarman orang yang tidak mereka sukai.
Dilihat dari kubur Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan Puti Bungsu yang ada di nagari Lunang, itu semuanya seperti kuburan orang Islam, membujur ke utara dan selatan menandakan menghadap kiblat.
Keadaan ini juga bisa dihubungkan dengan kebencian sekelompok keluarga kerajaan ini kepada Adityawarman karena mereka tidak seagama. Sebab dalam sejarah dikatakan, adityawarman adalah penganut Budha Mahayana, orang yang suka dengan kekerasan.
Perhitungan Tahun
Akan tetapi dalam sejarah dan Tambo Adat Minangkabau, disebutkan. Adityawarman berada di Pagaruyung sekitar 1339-1376. Anaknya, Ananggawarman yang masih beragama Budha memerintah (1376). Setelah itu barulah Sultan Bakilap Alam menjadi Raja Pagaruyung, sampai pada Sutan Usman, 1943 selaku (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung).
Jika dilihat pula keterangan yang disampaikan oleh Barkat, seorang keluarga Mande Rubiah, hingga kini keberadaan Mande Rubiah di Lunang, baru keturunan ke tujuh. Jika keturunan keluarga ini berumu masing-masing 50 tahun, maka perhitungannya baru sampai pada tahun 1600-an. Dalam hal ini jelas ada perhitungan sejarah yang tercecer.
“Untuk menghimpun sejarah Minangkabau yang penuh dengan makna, ini jelas tugas bersama untuk mempertautkannya. Sebab, sejarah suatu bangsa bukanlah terletak pada pundak satu angkatan saja, tetapi terletak di setiap pundak angkatan yang datang silih berganti dan bertukar tiap sebentar. Tugas kita semualah untuk mencarinya,” kata Abdul Hamid, salah seorang pemuka adat dari Nagari Pariangan selaku nagari tertua di Minangkabau.
Akan halnya Mande Rubiah, kalaulah bukan karena dibuka jalan lintas Sumbar Bengkulu dan transmigrasi di Lunang, maka tabir sejarah Rumah Gadang Mande Rubiah tidak akan ditemukan. Salah satu bukti sejarah yang ada hubungannya dengan Pagaruyung itu baru diketahui masyarakat secara luas, baru pada tahun 1960-an. Sebelumnya, boleh dikatakan hanya masyarakat Nagari Lunang dan sekitarnya saja yang tahu kalau yang menghuni rumah gadang itu adalah keturunan Bundo Kanduang..
Siapa Bundo Kanduang kenapa dia sampai ke Lunang? Inilah sebuah pertanyaan yang hingga sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan sebagai acuan bagi generasi berikutnya.
Jika memang Bundo Kanduang itu identik dengan Mande Rubiah yang ada di Lunang ini kita harus membuktikan apa yang diwarisinya sekarang, apakah berasal dari Pagaruyung atau ada kesamaan dengan Pagaruyung. Semua itu masih perlu pembuktian.
@
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
Mantap carito mah mas bro... main ke blog ambo yo...
http://www.kotoanau.ga
Posting Komentar - Kembali ke Konten